Pertama kali mengunjungi perpustakaan Pelita Desa di Sindangbarang
Loji, Bogor, ada Siti di meja resepsionis sedang mencatat. Tak lama
kemudian, muncul anak-anak kecil memasuki ruangan perpustakaan. Setelah
dipersilahkan duduk oleh Siti, akhirnya bertemu dengan Lukman dan Agus.
Kedua lelaki ini, setiap hari Sabtu, dengan sukarela membantu
perpustakaan Pelita Desa.
Ternyata, Lukman adalah teman saya saat SMP, sekarang kerja di LIPI.
Setelah basa-basi ngobrol dengan Lukman dan Agus, saya diajak ke lantai
dua perpustkaan. Ada beberapa meja dan kursi belajar. Juga papan tulis.
Sementara anak-anak perempuan yang tadi datang sedang asyik menggambar
dan membaca buku. Di lantai dua, ada sebuah ruangan yang terkunci.
“ ini ruang kerja Bu Titi, biasanya kalau datang, Bu Titi kerja di sini,” jelas Lukman.
Puas melihat-lihat di lantai dua, kami turun ke ruang perpustakaan.
Di lantai satu ini, berdiri rak-rak buku. Mata pun mengintip setiap rak,
secara sepintas. Ada buku cerita anak-anak, novel remaja, dan
buku-buku hasil penelitian Prof. Dr. Setijati Sastrapradja alias Bu
Titi panggilan akrabnya.

Ya!
Bu Titi dan perpustakaan Pelita Desa sangat erat hubungannya. Keduanya
tak bisa dipisahkan. Setelah beberapa kali bertemu dengannya, saya
putuskan untuk berkunjung ke Pelita Desa. Perpustakaan umum yang dibuka
sejak tahun 2003, saat Didin S. Sastrapradja, suaminya ulang tahun ke
-70, setiap Sabtu ramai dikunjungi anak-anak sekitar Desa Loji, Bogor.
Buku-buku yang ada di Pelita Desa ada yang dibeli oleh Bu Titi, juga
sumbangan dari orang lain.
“ Perpustakaan adalah jendela dunia. Waktu kecil, mainan gak ada.
Adanya perpustakaan, itu pun sangat minim. Sewanya…ya… 10 centlah.
Sering tukeran sama teman. Jadi bayarnya cuma satu. Tapi bisa baca buku
gantian,” Bu Titi bercerita tentang kegemarannya membaca buku saat
kecil dulu.
Sejak masih bekerja di LIPI, Bu Titi selalu menyisihkan uang untuk
perpustakaan Pelita Desa. Sekarang, perpustakaan yang Ia dirikan ini
sudah menjadi milik desa. Sayangnya, untuk perawatan buku dan
kesejahteraan karyawannya belum bisa sepenuhnya dibantu desa. Bantuan
yang diberikan untuk Pelita Desa baru sebatas buku-buku pelajaran saja.

Menariknya
lagi, anak-anak yang sering datang ke Pelita Desa dan berprestasi di
akhir tahun pelajaran akan mendapatkan hadiah dari Bu Titi, berupa
celengan dan uang. Tapi, sebelumnya si anak juga harus mengisi celengan
yang disediakan oleh Bu Titi. Apabila celengannya penuh, dan anak itu
berprestasi, Bu Titi akan memberikan hadiah uang yang sama jumlahnya
dengan yang ada di celengan.
Sayangnya, aturan main dari Bu Titi seringkali dirusak oleh kebutuhan rumah tangga orangtua anak-anak itu.
“ pernah suatu kali Irma….ada ibu dari anak itu, datang ke Ibu. Dia
mau minta uang dari celengan anaknya untuk beli magic jar. Ya sudah,
kalau satu orang sudah begitu….yang lain ngikut,” cerita Bu Titi.
Saat ini Bu Titi sudah pensiun dari LIPI. Tapi kecintaan dan
kepeduliannya terhadap anak-anak dan dunia membaca patut diacungi
jempol. Disela-sela kesibukannya mengajar mahasiswa S2 dan merawat Pak
Didin, Bu Titi masih terus menulis cerita untuk bulletin KEJORA yang
saat ini diterbitkan oleh MATOA. Cerita dalam KEJORA sangat menarik dan
mengajak anak-anak untuk cinta pada tanah air serta kekayaan alam
Indonesia.
Kalau Anda ingin memberikan bacaan yang menarik bagi anak-anak Anda
di rumah, taman bacaan, panti asuhan, jangan ragu untuk berlanggaanan
KEJORA. Silahkan kirim email ke kejora@matoa.org. Dengan berlangganan
KEJORA, Anda ikut mencerdaskan anak-anak Indonesia
sumber : http://matoa.org/bu-titi-dan-perpustakaan-pelita-desa/